Mataram – Jaringan aktivis di Nusa Tenggara Barat kembali mengangkat suara lantang mendesak Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dan Kejaksaan Negeri Dompu untuk segera menuntaskan penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berlokasi di Kelurahan Karijawa, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu. Proyek yang dikelola oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Dompu ini kini tengah menjadi sorotan publik usai muncul berbagai indikasi penyimpangan penggunaan anggaran dan dugaan permainan dalam pelaksanaan pekerjaan fisik di lapangan.
Para aktivis menilai kasus ini sebagai masalah serius yang sudah sepatutnya ditindaklanjuti secara tegas oleh aparat penegak hukum. Mereka menyebut terdapat dugaan kuat terjadinya mark-up anggaran serta praktik korupsi sejak tahap awal pelaksanaan. Kejanggalan-kejanggalan itu telah menjadi bahan kajian dan investigasi yang telah mereka sampaikan dalam berbagai aksi, termasuk demonstrasi yang digelar di depan Kantor Kejaksaan Negeri Dompu pada 16 Oktober 2025 lalu. Namun hingga saat ini, menurut para aktivis, belum ada langkah tegas yang diambil oleh Kejaksaan Negeri Dompu maupun Kejaksaan Tinggi NTB untuk mengungkap kebenaran secara terang benderang.
Pembangunan RTH tersebut diketahui menempati lokasi bekas SD Negeri 2 Dompu dengan pagu anggaran sebesar Rp2.050.000.000,00 dan nilai kontrak Rp2.030.775.165,00. Perbedaan nilai tersebut menjadi salah satu komponen yang dipersoalkan karena dianggap tidak diiringi dengan transparansi pengelolaan dana. Aktivis menduga bahwa sebagian besar dokumen proyek hanyalah bersifat formalitas sementara pelaksanaan fisik di lapangan menyimpan banyak kejanggalan, salah satunya kualitas pekerjaan yang tidak sesuai dengan nilai kontrak.
Ironisnya, meski proyek pada tahap pertama belum sepenuhnya tuntas dan menyimpan persoalan hukum, pemerintah daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Dompu justru kembali melanjutkan pembangunan RTH ke tahap kedua. Lebih mengherankan lagi, pelaksana proyek tetap dipercayakan pada perusahaan yang sama dengan tahap sebelumnya. Hal ini menjadi bahan kritik keras dari para aktivis karena dinilai mengabaikan prinsip evaluasi dan pertanggungjawaban atas pekerjaan sebelumnya yang telah disoroti sebagai bermasalah.
Penyataan dari pihak Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Dompu yang menyebut tidak memiliki kewenangan dalam menentukan pemenang proyek, dinilai sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab. Aktivis menyebut bahwa proses pengadaan tersebut mestinya diawasi secara ketat oleh dinas terkait sebagai pemilik kegiatan, agar tidak menimbulkan praktik permainan dalam proses pelelangan. Dalam pandangan mereka, pernyataan tersebut justru mempertegas dugaan bahwa proyek ini sarat akan intervensi dan menguntungkan pihak tertentu.
Dalam setiap pernyataannya, jaringan aktivis NTB menegaskan bahwa sikap diam atau lamban dari aparat hukum dalam menangani kasus dugaan korupsi seperti ini akan semakin memperpuruk kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Mereka mendesak Kejaksaan Tinggi NTB dan Kejaksaan Negeri Dompu untuk berlaku profesional, transparan dan menjunjung tinggi keadilan dalam menyelesaikan kasus tersebut. Lebih dari itu, aktivis juga menyampaikan bahwa dana publik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus dikelola dengan penuh tanggung jawab dan tidak menjadi ajang bancakan oleh oknum-oknum yang ingin mencari keuntungan pribadi.
Sebagai langkah lanjutan, para aktivis menyatakan akan terus mengawal persoalan ini melalui jalur aspirasi publik, termasuk kemungkinan membawanya ke pusat agar mendapatkan atensi dari lembaga-lembaga hukum di tingkat nasional. Mereka menekankan pentingnya sinergi antara masyarakat sipil dan penegak hukum untuk menutup celah korupsi di berbagai sektor pembangunan daerah, demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan pembangunan yang benar-benar pro-rakyat.
















