Oleh : Syahril Ramazan
(Mahasiswa Prodi Kesejahteraan Sosial UIN Ar-raniry Banda Aceh)
Pesta genderang pertarungan telah lama di kumandangkan, pita pertarungan telah digunting, sebagai tanda semua petarung sudah diperbolehkan berjualan diri demi memenuhi hasrat kekuasaan yang dibungkus dalam sampul pengabdian bagi bangsa dan negara, meskipun banyak realita yang terjadi semuanya hanya akan menjadi Sampah pada ujungnya.
Semua partai politik mempersiapkan sekian banyak amunisi dan squad terhadap upaya mencapai menjadi sang raja pemangku tahta dalam pesta demokrasi per lima tahun sekali ini.
Baik parpol maupun calon presiden bahkan calon legislatif sekalipun menjual sekian banyak janji-janji manis, mengungkapkan berbagai teori-teori kesejahteraan, bahkan tatkala terlalu terbuai dalam berjualan politik sehingga lupa atau sengaja melupakan terhadap fungsi lembaga eksekutif dan legislatif yang menyebabkan gaungan janji yang dikoarkan tak sejalan dengan fungsi keduanya, dan mirisnya lagi masyakat sebagai komsumsi politik ikut terkoecoh dengan bualan janji janji manis.
Tetapi dalam hal ini penulis sedikit ingin menyorot terkait hal yang sering di sebut dengan artian Dari rakyat Untuk Rakyat Oleh rakyat (DEMOKRASI).
Sejauh pemahaman penulis tak ada para calon kontestan baik untuk calon presiden maupun calon anggota legislatif tak ada yang benar benar komit dalam gagasan memperjuangkan Demokrasi, seperti pada halnya Presidesntial Treshoold dan Parliementary Tresshoold.
Masih menjadi misteri pemahaman politik bagi penulis atas alasan apa kedua hal tersebut diterapkan, bukankah dasar demokrasi tersebut bersifat tidak menghalangi siapapun dan semua orang memiliki hak yang sama dalam proses mendapatkan sesuatu?.
Menurut pemahaman penulis sistem Presidential dan Parliementary tresshold adalah suatu hal yang menghambat seseorang yang memiliki gagasan dan inovasi-inovasi dalam Kontruksi pembangunan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nya, hal ini dikarenakan syarat menjadi Presiden harus memenuhi 20% suara di parlement, dan partai politik yang hanya bisa masuk ke Parlemen harus memenuhi 4% parliementary tresshold.
Sungguh hal ini menjadi miris ketika seseorang yang memiliki gagasan, integritas tinggi, dan memiliki daya tarik tersendiri oleh masyarakat harus terpenjara dikarenakan sitem treshold tersebut, sehingga terbangunlah diksi di khalayak ramai bahwasanya `tuannya negara bukan rakyat, akan tetapi Partai Politik`.
Hal yang menjadi keheranan bagi penulis adalah Kemana dan dimana nalar-nalar politik sehat serta integritas demokrasi para pelaku politik terhadap momok yang sudah di anggap kelaziman ini.
Sering sekali yang memperjuangkan presidential tresshold adalah masyarakat yang memiliki perhatian terhadap demokrasi, kemana para politisi partai berdiam diri dalam ini?.
Padahal yang sangat memiliki presentase tinggi dalam memperjuangkan judicial review Presidentian Tresshold menjadi 0% kepada Mahkamah Kontitusi yang memiliki open legal Policy (Kebebasan Membuat Kebijakan Terbuka) adalah partai politik yang memiliki legal standing.
Akan tetapi beberapa Partai politik yang diparlemen yang menampakkan diri sebagai oposisi dan menentang PT tersebut hanya berkoar di muka umum demi mendapat simpati rakyat dan menambah pundi-pundi suara saat pemilu, namun tidak pernah datang ke MK untuk memperjuangkan tresshold tersebut, rasanya penulis memiliki alasan yang kuat dalam menyatakan “Oposisi dan pro pemerintah akan bersetubuh pada kepentingan yang saling menguntungkan tanpa melihat kebenaran secara hakiki.”
Dalam hal ini penulis mengajak seluruh Peserta Konstentasi Pesta politik 2024 ini untuk kembali sadar pada akal sehat dan menjauhi akal bulus dalam menerapkan Demokrasi, bangun gagasan gagasan demokrasi yang memang plurable dan berkeadilan.
Bangun simpati rakyat dengan sikap ksatria dan penuh dengan komitment.