Oleh: Devi Ramaddani
(Pemerhati Sosial)
Hari Ibu Nasional 2023 adalah peringatan ke-95 tahun sejak 1928. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA) telah merilis tema peringatan Hari Ibu Nasional 2023 “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”. Pada momentum ini pun bertujuan untuk mengenang dan menghargai perjuangan perempuan Indonesia. Momentum ini juga memaknai kembali PHI sebagai tonggak gerakan perempuan Indonesia untuk berkontribusi aktif memajukan bangsa dan negara. (https://news.detik.com/berita/d-7054819/tema-hari-ibu-nasional-2023-dan-rangkaian-acaranya/amp).
Gegap gempita begitulah kiranya ungkapan yang pas dalam menggambarkan betapa meriahnya peringatan hari Ibu. Agenda tahunan yang rutin digelar setiap 22 Desember ini merupakan wujud penghargaan kepada sosok ibu atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam menjalankan perannya dalam rumah tangga bahkan dalam terwujudnya sebuah peradaban besar.
Pada moment ini pula, para Ibu banjir ucapan terimakasih dan sanjung puji dari anak-anak mereka, suami dan kerabat. Tak ketinggalan adalah ucapan hangat dari para pejabat untuk para Ibu di seluruh Nusantara. Kegembiraan tersebut mengisyaratkan pada kesimpulan yang sama yakni pengakuan akan hebatnya sosok Ibu dalam kehidupan.
Tentu menjadi pertanyaan, mengapa kemeriahan peringatannya tak semanis realita? Nasib Ibu tetap nelangsa. Kemiskinan, pelecehan, penindasan dan eksploitasi kerap diterima perempuan di berbagai tempat.
Lalu dalam perkembangannya pun dibuatlah istilah pemberdayaan perempuan tujuannya agar perempuan dibuat terperdaya. Padahal sudah jelas tujuannya untuk mendorong dan memfokuskan perempuan agar keluar rumah untuk mengejar dan menghasilkan (value) materi, tidak menganggap lagi bahwa fungsi utamanya sebagai istri dan pendidik generasi.
Keluarnya kaum perempuan bekerja sebagai buruh memang menjadi sasaran empuk bagi oligarki untuk mengekploitasi tenaga mereka karena perempuan sejatinya adalah makhluk yang ulet, tekun dan telaten yang akan bersaing dengan pekerja laki-laki melalui racun kesetaraan gender yang tengah di gencarkan oleh kaum feminis untuk menggeser peran domestik perempuan.
Tentu saja, ketika sebagian besar kaum perempuan yang sudah teracuni oleh faham feminisme melalui kesetaraan gender akan disibukkan dengan dunia kerja dan kiprah lainnya di ranah publik maka ranah domestik yakni pengaturan rumah tangga akan tersisihkan karena bagi mereka mengambil peran menjadi ibu dan pengatur rumah tangga adalah pekerjaan yang kolot, mengekang, membuang-buang waktu dan tidak menghasilkan materi karena tidak dibayar. Dari sini bisa kita simpulkan, gerakan kaum feminis dan liberal kapitalisme merupakan perjuangan untuk melepaskan perempuan dari kehidupan rumah tangga dan mandiri dari laki-laki.
Padahal dalam islam, perempuan telah diberi peran utama dan mulia, yaitu “ummu wa robatul bait” sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai pendidik generasi tentu butuh peran Negara yang mendukung dan memuliakan perempuan, dalam hal ini syariat Islam telah terbukti berabad-abad lamanya mampu menjadi mercusuar dunia yakni kurang lebih 13 abad. Beberapa kebijakan dimasa kejayaan islam pun nyata telah diterapkan antara lain:
Pertama, meletakkan peran laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya, yakni sesuai dengan pengaturan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Laki-laki berperan sebagai pemimpin dan pemberi nafkah. Sedangkan perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Perempuan akan dipandang mulia karena dari Rahim perempuanlah akan dilahirkan generasi yang cemerlang yang terbentuk melalui ibu yang memiliki kepribadian islam, maka akan mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahamkan kepada anak-anaknya akan tujuan hidup yang hakiki yakni meraih keridhoan Allah semata.
Kedua, adanya jaminan kebutuhan pokok perempuan. Kewajiban nafkah perempuan ada pada suaminya, bila tidak ada maka akan dipenuhi kerabatnya. Namun apabila dalam hal ini kerabatnya tidak mampu maka akan dipenuhi oleh Negara. Sehingga perempuan dapat fokus pada kewajiban utamanya sebagai istri dan ibu yang mengasuh dan mendidik anak-anaknya karena perempuan tidak dibebani tugas mencari nafkah.
Ketiga, perempuan mubah bekerja alias boleh-boleh saja asalkan sesuai ketentuan syariat. Yakni pekerjaan tersebut halal, tidak mengumbar auratnya dengan catatan atas izin dari suaminya untuk bekerja dan tidak melalaikan dari kewajiban utamanya. Jenis pekerjaanya juga harus tetap menjaga kehormatanya, ketika bekerja diwajibkan mengenakan pakaian syar’i dan menjaga interaksi dengan lawan jenis (tidak ikhtilat).
Keempat, perempuan tetap boleh berkiprah dalam ranah publik karena ia merupakan anggota masyarakat dan warga Negara dengan segala kewajiban menuntut pelaksanaanya. Seperti menuntut ilmu, silaturahmi dan berdakwah dan lain-lain diranah publik serta dalam islam perempuan boleh dipilih menjadi majlis umat sehingga memiliki hak untuk memilih khalifah.
Hanya Islam-lah yang dapat memuliakan perempuan sesuai fitrahnya. Islamlah yang akan menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan bukan malah memperdayakan perempuan untuk mencari materi. Sudah saatnya, para perempuan tidak lagi terjebak dengan slogan pemberdayaan yang memperdaya. Saatnya, muslimah berjuang mengembalikan Islam agar hidup sesuai fitrahnya.
Wallahu a’lam bish shawab.